RUANGKALTIM.COM, KUTIM – Di peta resmi Kementerian Dalam Negeri, Kampung Sidrap adalah bagian dari Desa Martadinata, Kecamatan Teluk Pandan, Kabupaten Kutai Timur (Kutim). Namun di lapangan, realitasnya tak sesederhana garis di peta. Sebagian besar warganya memegang KTP Kota Bontang, berbelanja ke Bontang, bahkan anak-anak mereka bersekolah di kota tetangga itu. Sengketa tapal batas ini telah berlangsung lebih dari dua dekade, kini kembali mengemuka di meja Mahkamah Konstitusi (MK).
Sidrap adalah ironi dari proses pemekaran daerah era reformasi. Sejak UU Nomor 47 Tahun 1999 disahkan, secara hukum wilayah ini sah menjadi bagian Kutim. Namun, kedekatan geografis dengan Bontang, hanya dipisahkan jalan dan hutan tipis, membuat hubungan sosial ekonomi warga Sidrap lebih mengarah ke kota itu. Pemerintah Kota Bontang pun sejak lama memberi pelayanan publik ke wilayah tersebut, meski administrasi kependudukan dan batas resmi berada di Kutim.
Ketegangan mulai mengeras saat Kementerian Dalam Negeri menerbitkan Permendagri Nomor 25 Tahun 2005 yang menegaskan batas Sidrap berada di Kutim. Bagi Pemkot Bontang, ini memutus harapan mereka mengintegrasikan Sidrap. Upaya hukum pun dimulai, 2023, Bontang menggugat ke Mahkamah Agung (MA) melalui kuasa hukum Hamdan Zoelva. MA menolak gugatan, menguatkan posisi Kutim. Tak berhenti di situ, awal 2025, Pemkot Bontang mengajukan uji materi UU 47/1999 ke MK. Gugatan ini terdaftar sebagai Perkara Nomor 47/PUU-XXIII/2025. Mereka berargumen, norma undang-undang tersebut perlu diubah demi kepastian hukum dan penegasan batas wilayah yang mencerminkan realitas sosial.
Pada 28 April 2025, sidang ke-8 MK dihadiri Wakil Wali Kota Bontang Agus Haris. Hakim konstitusi mendalami argumentasi, termasuk menyoal proses mediasi yang difasilitasi Gubernur Kalimantan Timur (Kaltim) dan Mendagri. MK bahkan mengeluarkan putusan sela yang memerintahkan mediasi ulang. Namun, hingga Juni 2025, belum ada hasil konkret. Publik Sidrap tetap pada status semula.
Di sisi lain, Pemkab Kutim tetap bersikukuh. Bupati Ardiansyah Sulaiman menegaskan Sidrap bagian sah dari Kutim, memerintahkan penertiban terhadap aktivitas yang melanggar hukum, termasuk pendirian RT baru oleh pihak yang tidak memiliki kewenangan.
“Kita jaga wilayah ini sesuai hukum,” ujarnya awal 2024.
Pada mediasi terakhir yang dilaksanakan langsung di Dusun Sidrap, difasilitasi Gubernur Kaltim Rudy Mas’ud pada Senin tepatnya 11 Agustus 2025, juga belum ada hasil konkret. Semua pihak masih “sepakat untuk tidak bersepakat”. Karena fakta di lapangan Sebagian besar masyarakatnya masih menginginkan menjadi warga Kutim. Dengan demikian, publik Sidrap tetap hidup di tengah status ganda.
Mahkamah Konstitusi saat ini tengah dihadapkan untuk memutuskan perkara ini. Namun berdasarkan Pasal 24C UUD 1945, MK hanya berhak menguji undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara, membubarkan partai politik, memutus perselisihan hasil pemilu, dan memutus pendapat DPR soal dugaan pelanggaran presiden/wapres. Jika MK mengabulkan permohonan Bontang, peta administratif Kaltim bisa berubah, jika ditolak, status Sidrap sebagai bagian Kutim akan semakin kokoh.
Mengulas kembali ketegasan Ardiansyah menyikapi persoalan dimaksud, sebenarnya apa yang dilakukan orang nomor satu di Pemkab Kutim tersebut bukan tanpa alasan. Sebab di bawah kebijakannya, Sidrap tak lagi di anak tirikan. Karena Pemkab Kutim telah menelurkan program nyata. Antara lain mendukung Sidrap sebagai Desa Mandiri dan Mandagi Kemandirian.
Sementara legalitas masih dibahas, Pemkab Kutim bergerak lewat pembangunan nyata yakni pembangunan Masjid Al Hidayah pada Agustus 2024. Bupati Kutim Ardiansyah Sulaiman memulai peletakan batu pertama Masjid Al Hidayah di Dusun Batang Bengkal. Momen ini menjadi simbol kuat integrasi keagamaan dan sosial masyarakat Sidrap. Berikutnya peluncuran Program “Sidrap Berdikari”, inisiatif pertanian terintegrasi berbasis komunitas yang digagas Poktan Cinta Damai, didukung CSR PT Kaltim Nitrate Indonesia. Program ini mendorong kemandirian petani lewat peningkatan produksi, pengolahan, dan pemasaran.
Pengembangan Hortikultura dan Agribisnis
Petani program “Sidrap Berdikari” diberdayakan dengan tanaman pepaya (hasil potensial hingga Rp210 juta per hektare per dua tahun) dan budidaya ikan air tawar ditunjang sistem “Integrated Farming” bersama ternak domba. Menjabarkan desa digital mandiri di horizon Sidrap.
Paling monumental Adalah program Redistribusi Sertifikat Tanah Gratis pada Juni 2025. Dalam program redistribusi tanah, Pemkab Kutim menyerahkan 83 sertifikat gratis kepada warga Sidrap, dari kuota lebih 400. Program ini memberikan kepastian hukum dan peluang ekonomi untuk warga produktif.
Pemutakhiran Data Penduduk (2025)
Sidrap melibatkan sekitar 3.000 warga yang masih menggunakan KTP Bontang. Pemkab melakukan pendekatan persuasif, sosialisasi, dan edukasi, tanpa penindakan hukum untuk memperbarui data sesuai domisili.
Dukungan lainnya adalah penyiapan Desa Persiapan “Mata Jaya”. Pemkab berencana memekarkan Sidrap menjadi desa mandiri bernama Desa Mata Jaya. Proses ini mencakup penyusunan peta, studi kelayakan, dan rencana permintaan status definitif, sejalan dengan komitmennya memperkuat perbatasan dan pelayanan publik. Masih di bahwa wilayah administrasi Desa Martadinata, alokasi program Rp 250 juta per RT juga sudah berjalan.
Kronologi Sengketa Sidrap
1999 – Pemekaran Daerah
UU Nomor 47 Tahun 1999 disahkan, Sidrap masuk wilayah Kutim.
Diubah melalui UU Nomor 7 Tahun 2000 terkait mekanisme pengisian DPRD daerah baru.
2005 – Penegasan Batas
Permendagri Nomor 25 Tahun 2005 menetapkan Sidrap berada di Kecamatan Teluk Pandan, Kutim.
1999–2022 – Status Ganda Pelayanan Publik
Warga Sidrap banyak memiliki KTP Bontang, layanan publik didominasi Pemkot Bontang, tetapi secara hukum di Kutim.
2023 – Gugatan ke MA
Pemkot Bontang menggugat ke MA, ditolak. Kutim tetap berwenang penuh.
2024 – Penegasan Kutim
Bupati Kutim menegaskan pengawasan ketat di Sidrap, menindak pendirian RT ilegal.
Awal 2025 – Gugatan ke MK
Pemkot Bontang ajukan judicial review UU 47/1999 ke MK (Perkara 47/PUU-XXIII/2025).
28 April 2025 – Sidang Ke-8 MK
Wakil Wali Kota Bontang hadir, MK dalami argumen dan proses mediasi.
Mei 2025 – Putusan Sela MK
MK perintahkan mediasi ulang oleh Gubernur Kaltim dan Mendagri.
Juni 2025 – Belum Ada Kejelasan
DPRD Bontang minta perkembangan perkara
Juli 2025 – Di Jakarta, Gubernur Kaltim gagal memediasi dua pihak yakni Pemkab Kutim dan Pemkot Botang untuk bersepakat.
Agustus 2025 – Gubernur Kaltim kembali gagal memediasi para pihak di Lokasi Batas Daerah. Pemkab Kutim, Pemkot Bontang dan warga belum sepakat. Kini publik menunggu putusan akhir MK. (rk)