RUANGKALTIM.COM, KUTIM – Di ruang mediasi yang dipenuhi tatapan serius, Kepala Desa Martadinata Sutrisno, melangkah mantap menuju mikrofon, Senin lalu (11/8/2025). Difasilitasi Gubernur Kalimantan Timur (Kaltim), para pejabat provinsi, kepala daerah, dan ratusan warga menyaksikan babak baru sengketa tapal batas Dusun Sidrap. Wilayah yang selama bertahun-tahun menjadi perebutan Kutai Timur (Kutim) dan Bontang.
“Polemik Sidrap ini lebih kental nuansa politik yang mencuat setiap lima tahun sekali,” kata Sutrisno dengan lantang siang itu.
Ia tak sekadar berkomentar, tetapi melempar tantangan langsung kepada Wali Kota Bontang untuk membuktikan kontribusi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) ke Sidrap sejak ketentuan hukum berlaku.
“Tidak ada satu rupiah pun yang dikucurkan ke wilayah kami,” tegasnya.
Pernyataan itu sontak menarik perhatian. Di barisan depan duduk Gubernur Kaltim Rudy Mas’ud, Ketua DPRD Kaltim Hasanuddin Mas’ud, serta sejumlah pejabat provinsi dan daerah. Di belakang mereka, warga Sidrap menyimak dengan ekspresi beragam. Sebagian mengangguk, sebagian lain terdiam.
Sengketa ini memiliki riwayat panjang. Undang-Undang Nomor 47 Tahun 1999 menjadi pijakan hukum awal pembentukan Kota Bontang dari wilayah Kutim. Sejak itu, garis batas Sidrap kerap menjadi sumber silang pendapat. Pada 2023, Mahkamah Agung menolak gugatan Pemerintah Kota Bontang yang berupaya merebut penguasaan administratif Sidrap. Putusan ini memperkuat posisi Kutim sebagai pemegang kewenangan.
Tak berhenti di situ, Bontang mengajukan judicial review terhadap undang-undang tersebut. Namun langkah itu mendapat tanggapan tegas dari Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian. Melalui surat tertanggal 30 Juli 2024, Tito memerintahkan pencabutan upaya hukum tersebut. Ia menyebut jalur itu “kurang bijaksana” dan menegaskan bahwa penyelesaian sengketa antar daerah sebaiknya ditempuh melalui mekanisme administratif yang difasilitasi Kemendagri, bukan lewat peradilan.
Meski landasan hukum tampak menguatkan Kutim, suhu politik di Sidrap tak kunjung mereda. Pernyataan Sutrisno yang menyinggung “politik lima tahunan” menambah lapisan tafsir publik, apakah Sidrap sekadar menjadi wilayah sengketa, atau telah berubah menjadi arena perebutan pengaruh menjelang setiap pemilihan.
Kini, publik menanti langkah berikutnya. Apakah Sidrap akan segera mendapatkan kepastian pelayanan publik dan pembangunan yang merata?, atau terjebak dalam pusaran tarik-menarik kepentingan yang berulang setiap musim politik tiba. Jika merujuk ketegasan Pemkab Kutim, sedianya pembangunan akan terus berjalan. Terlebih kampung dimaksud telah diusulkan untuk menjadi sebuah desa persiapan bernama Mata Jaya. (rk)