RUANGKALTIM.COM, KUTIM – Sudah diusulkan sejak 2017 silam, pengajuan peraturan daerah (perda) tentang pengakuan masyarakat hukum adat (MHA) Hutan Wehea hingga kini tak juga diterima.
Selain tidak diterima, usulan itu juga tidak mendapat respon baik dari berbagai pihak. Hal itu disampaikan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kutai Timur (Kutim) Siang Geah.
“Selalu dianggap ini langkah politik pribadi saya. Padahal tujuan kami bagaimana Perda itu menguatkan dalam proses penjagaan hutan (Wehea),” ujarnya.
Menurutnya, payung hukum untuk Adat Wehea sangat dibutuhkan saat ini. Hal itu sebagai upaya untuk mengatur pengelolaan kawasan hutan lindung Wehea.
“Tentu ke depannya akan memudahkan dalam penanganan dan penguatan dalam melestarikan alam hutan. Apalagi banyak terdapat di berbagai wilayah di Kutai Timur. Termasuk Hutan Wehea,” ungkap politikus PDI Perjuangan itu.
Apalagi sekarang ada politik karbon, tentu dengan adanya pengakuan MHA dapat membuat kabupaten ini mendapat dana hibah berupa untuk menjaga hutan. Berbeda sekarang, belum melakukan pengelolaan ke arah sana.
“Apalagi Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) merupakan yang pertama di Indonesia yang berhasil menurunkan emisi karbon melalui Forest Carbon Partnership Facility Carbon Fund (FCPF CF). Bahkan yang pertama di kawasan Asia Pasifik,” terangnya.
Sedangkan saat ini, kompensasi dana karbon masih dikelola Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
“Dana kompensasi yang dihasilkan dari hutan Kaltim sangat besar. Bahkan mencapai USD 110 juta. Sekarang sudah terbayar USD 20,9 juta,” jelasnya.
Sejauh ini, kata dia, masyarakat telah berkomitmen ingin memastikan hutan tetap lestari. Kendati demikian, pemangku kepentingan tetap diminta untuk memberikan perhatiannya.
“Setidaknya harus duduk bersama untuk memastikan hutan tetap terjaga,” tutupnya. (adv/rk)