RUANGKALTIM.COM, KUTIM – Beberapa bulan terakhir, kita acap melihat informasi yang membuat dahi mengernyit. Yakni seputar keputusan negara memberi peluang kepada organisasi masyarakat (ormas) keagamaan untuk ikut mengelola izin pertambangan.
Pembagian izin tambang terhadap ormas tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024. Itu adalah perubahan dari PP Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
Pemerintah berharap, dengan ruang itu, ormas keagamaan bisa mandiri dalam mengelola dan mengembangkan organisasinya.
Tentang itu, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Kutai Timur (Kutim) Jimmi mengatakan, aturan itu akan berdampak besar kepada masyarakat, terutama di wilayah Kutim. “Artinya tenaga kerja kita pasti akan terlibat di dalamnya,” ucapnya.
Meskipun menimbulkan polemik, industri pertambangan tengah mengahadapi krisis legitimasi yang serius. Apalagi, mereka sering kali ditentang oleh masyarakat akibat efek destruktif yang dihasilkan dari kegiatan eksploitasi sumber daya alam.
Banyak komunitas di sekitar area pertambangan merasakan dampak negatif, mulai gangguan kesehatan, ketidakadilan sosial, hingga kerusakan lingkungan yang signifikan.
Dalam hal ini, Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu berharap, melalui pemberian konsensi pertambangan kepada ormas keagamaan, krisis legitimasi industri dapat diperbaiki.
“Kami harap ini seimbang antara perawatan lingkungan dengan hasil produksi, ketika mereka mengelola pertambangan,” kata Jimmi.
Lebih lanjut, dirinya menekankan bahwa dalam mengelola pertambangan dibutuhkan profesionalisme yang tinggi, sehingga polemik yang ditimbulkan dapat diatasi dengan baik.
“Terutama pascatambang, kalau bisa harus lebih baik dari PT KPC (Kaltim Prima Coal, perusahaan tambang batu bara di Kutai Timur). Standarnya kan kita lihat dari PT KPC karena sudah mendapat penghargaan Proper (Program Penilaian Peringkat Kinerja Lingkungan Hidup) itu,” pungkasnya. (adv/rk)