RUANGKALTIM.COM, KUTIM – Upaya eliminasi Covid-19 tampaknya membuahkan hasil positif. Sehingga Asosiasi Dinas Kesehatan (Adiskes) Kalimantan Timur (Kaltim) meminta pemerintah daerah (pemda) memaksimalkan penanganan tiga penyakit kronis yang sampai sekarang belum teratasi, yakni AIDS-tuberculosis-malaria (ATM). Ya, rencana kerja pun diperhatikan. Apakah pemerintah desa (pemdes) sudah mengalokasikan anggaran terhadap penanggulangan eliminasi ketiga penyakit itu.
“Ini menjadi perhatian, karena upaya untuk mengeliminasi ketiga penyakit itu sudah sejak lama digaungkan. Namun sampai sekarang tidak selesai-selesai,” kata Kepala Dinas Kesehatan (Kadiskes) Kutim dr Bahrani Hasanal.
Apalagi Indonesia baru dihadapkan dengan pandemi Covid-19. Sehingga dengan pengalaman menangani Covid itu, pemerintah mendapat ide. Kenapa Covid yang begitu meluas cepat bisa diatasi, sedangkan penyakit ATM yang sudah ada lama belum teratasi.
“Maka melalui Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes), pemerintah pusat memberikan petunjuk teknis yang terintegrasi,” ungkapnya.
Sehingga pemerintah daerah (pemda) diminta melibatkan organisasi perangkat daerah (OPD) lainnya. Di antaranya Dinas Sosial (Dissos), Badan Pendapatan Daerah (Bapenda), Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD), Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) dan Pemerintah Desa (Pemdes), agar bersama terlibat dalam penanggulangan.
“Sehingga terjadi eliminasi terhadap penyakit ATM pada 2030 mendatang. Nah, Dinas Kesehatan sebagai koordinator terhadap pelaksanaannya. Alhamdulillahnya, RKPD (Rencana Kerja Pembangunan Daerah) Kutim sudah selaras dengan apa yang diharapkan pemerintah pusat. Artinya Kutim sudah melaksanakan kegiatan-kegiatan yang sesuai dengan petunjuk teknis yang terintegrasi itu,” bebernya.
Bahkan Kutim termasuk satu dari tujuh kabupaten kota yang ada di Kaltim, menjadi kabupaten yang resilient and sustainable systems for health (RSSH) atau pelayanan sistem kesehatan secara berkesinambungan.
“Alhamdulillah komentar dari Adiskes Kaltim, Kutim sudah bagus. Mungkin nanti menjadi percontohan bagi kabupaten kota lainnya dalam hal penganggaran yang sudah sesuai untuk penanggulangan eliminasi ATM,” tuturnya.
Apalagi, kata dia, dulu tuberculosis minimal enam bulan minum obat terus-menerus. Tapi, sekarang kebanyakan tidak bisa lagi diobati dengan obat yang sama. Maka dikenal pengobatan dengan nama multidrug resistant tuberculosis (MDR-TB), menggunakan suntikan selama delapan bulan berturut-turut.
“Setiap hari disuntik di fasilitas kesehatan (faskes). Beda dulu, hanya minum obat saja. Tapi, ternyata ada lagi tingkatan dari MDR, yang sekarang masih diteliti. Karena saking lamanya tidak teratasi, akhirnya penyakit ini memutasi diri. Sehingga menjadi kebal,” paparnya.
Pihaknya pun berharap, dengan target eliminasi 2030 tersebut bisa menekan kasusnya. Contohnya AIDS, harus dieliminasi 90 persen dari Orang Dengan HIV AIDS (ODHA), sedangkan 95 persennya harus terobati. Dengan terobatinya, maka virus di dalam tubuhnya tidak terdeteksi lagi.
“Artinya tidak menularkan, meskipun tidak bisa disembuhkan. Jadi, ada tiga hal yang menjadi target dari pengobatan 95 persen itu. Kalau TBC, temukan obati sampai sembuh (TOS). Nah, untuk AIDS namanya TOP (temukan obati dan pertahankan) atau berobat seumur hidup. Apalagi penularannya melalui cairan tubuh. Seperti melalui seks bebas, jarum suntik dan lainnya. Makanya perlu di edukasi untuk pencegahan,” ungkapnya.
Sejauh ini, kasusnya di Kutim banyak. Apalagi dengan luasan geografi kabupaten ini. Sehingga orang yang sakit di kawasan pedalaman dan tidak terjangkau, kerap menjadi masalah. Kalau disuruh mengambil obat ke rumah sakit (RS) atau puskesmas pun terkadang jaraknya ada yang jauh. Sehingga ada yang sempat menularkan kepada yang lain.
“Begitu pula malaria, sempat sangat menurun. Tapi, banyak kegiatan reboisasi dan buka kebun sawit. Akhirnya kasusnya nambah lagi. Makanya kami bekerja sama dengan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans), agar setiap perusahaan yang ingin membuka kebun melapor lebih dulu. Paling tidak dibekali kelambu dan minum obat sebelum masuk hutan. Apalagi kebanyakan kasusnya dari pendatang, sampai sini kemudian menularkan,” terangnya.
Adapun TBC, apabila penderitanya tidak cepat diobati. Maka dalam setahun bisa menularkan kepada 10 orang. Sehingga harus benar-benar dicari penderitanya. Hal tersebut yang sekarang menjadi kegiatan pihaknya, yakni bagaimana mencari kasus baru.
“Maka dengan geografi yang luas ini, perlu di kerahkan semua tenaga. Makanya OPD lainnya dilibatkan. Apalagi urusan kesehatan bukan hanya tanggung jawab Dinas Kesehatan. Melainkan tanggung jawab bersama. Yang jelas, ini sudah sesuai dengan visi misi pemkab, indikatornya adalah peningkatan angka harapan hidup. Jadi Diskes tugasnya bagaimana orang bisa berumur panjang dengan derajat kesehatan yang baik. Kan percuma umur panjang tapi banyak penyakit di tubuh,” pungkasnya. (adv/rk)