RUANGKALTIM.COM, KUTIM – Keterlambatan implementasi APBD Tahun Anggaran 2025 di Kabupaten Kutai Timur, jadi sorotan tajam Wakil Ketua II DPRD Kutim, Prayunita Utami. Menurutnya, kondisi ini bukan lagi sekadar persoalan teknis, melainkan cerminan dari krisis komunikasi politik dan tata kelola fiskal yang tidak sehat.
“APBD kita kan sudah disahkan November tahun lalu (2024), tapi sampai hari ini belum ada tanda-tanda progres pembangunan yang berarti. Realisasi pun hanya berkutat pada belanja operasional, sementara belanja modal yang mestinya dirasakan langsung manfaatnya oleh masyarakat nyaris nihil,” ujar Prayunita.
Legislator Nasdem itu menyebut, alur penganggaran di Kutim saat ini berada dalam jalur yang menyimpang dari kerangka perencanaan nasional. Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri), seharusnya pemerintah daerah telah menyampaikan KUA dan PPAS perubahan kepada DPRD paling lambat Juli. Namun, hingga pertengahan bulan ini dokumen tersebut belum juga masuk ke meja legislatif.
“Saya khawatir bukan hanya pembangunan yang tertunda, tapi kepercayaan publik juga terkikis. Pemerintah terkesan bekerja di ruang sunyi, tanpa transparansi dan tanpa kemitraan yang sehat dengan legislatif,” lanjutnya.
Prayunita mengungkapkan, dinamika ini diperparah oleh beberapa faktor utama. Mulai dari lambatnya respons Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD), mekanisme pemangkasan anggaran yang tidak transparan, hingga minimnya usulan aspirasi anggota legislatif yang tertuang dalam dokumen penyusunan anggaran.
“Ketika TAPD tidak mampu merespons cepat perubahan fiskal, dan ketika komunikasi anggaran berubah menjadi keputusan sepihak, maka DPRD bukan lagi menjadi mitra strategis, melainkan penonton. Ini sangat berbahaya bagi demokrasi lokal, apalagi ada dinamika di dalam tubuh TAPD sendiri. Membuat pembahasan semakin tertunda,” paparnya.
Berdasarkan informasi yang beredar, pemangkasan anggaran dilakukan sebagai tindak lanjut dari instruksi pemerintah pusat terkait efisiensi fiskal. Namun dalam praktiknya, sejumlah SKPD mengalami kebuntuan dalam menyusun ulang program karena adanya perubahan-perubahan pemangkasan yang tidak terkoordinir dengan baik.
“Mestinya ada teguran untuk pejabat di TAPD, terutama yang menghambat proses pembahasan ini. Saya pikir, ketua TAPD dalam hal ini Sekda dapat langsung bersikap tegas terhadap dinamika yang terjadi. Bupati juga harus menaruh perhatian terhadap situasi saat ini,” tambahnya.
Sementara itu, pemerintah daerah malah justru memulai pembahasan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2025–2029, padahal pelaksanaan APBD 2025 saja belum berjalan. Menurut Prayunita, ini menunjukkan kegagapan dalam merancang kesinambungan pembangunan.
“RPJMD adalah dokumen strategis yang seharusnya dibangun di atas pengalaman dan capaian APBD sebelumnya. Jika APBD-nya sendiri belum dijalankan, lalu apa yang dijadikan basis evaluasi dan proyeksi jangka menengahnya?” tanya Prayunita.
Prayunita pun kembali mengingatkan bahwa pembahasan anggaran yang tepat waktu sangat penting untuk menjamin kelancaran pelaksanaan program pembangunan, efektivitas pelayanan publik, dan stabilitas ekonomi di daerah. Ketika proses perencanaan dan penganggaran tersendat, maka dampaknya akan sangat luas.
“Keterlambatan ini bisa menciptakan ketidakpastian bagi dunia usaha dan masyarakat luas. Jangan biarkan persoalan administratif ini menimbulkan konsekuensi sosial yang lebih besar. Jangan sampai malah kita sebagai anggota legislatif yang disalahkan atas keterlambatan ini,” ujarnya.
Terakhir, dirinya mendorong Pemkab Kutim untuk membuka ruang dialog yang setara dan jujur dengan DPRD demi menyelamatkan sisa waktu tahun anggaran ini. Ia juga meminta Bupati Ardiansyah dan TAPD segera menghentikan pendekatan sepihak dalam pengelolaan keuangan daerah.
“Kalau kita terus begini, 2025 bisa menjadi tahun stagnasi pembangunan Kutai Timur. Kita butuh keberanian untuk berbenah, bukan sekadar alasan atau formalitas. Jika memang ada masalah di tubuh TAPD, maka harus segera diselesaikan,” tegasnya. (yp/rk)