RUANGKALTIM.COM, KUTIM – Kebutuhan masyarakat akan air bersih memang sangat mutlak. Tidak hanya kawasan perkotaan, pedalaman pun membutuhkan adanya salah satu pelayanan dasar tersebut. Hal itu pun menjadi kewajiban bagi pemerintah daerah di seluruh Indonesia untuk memenuhi hajat orang banyak tersebut.
Tidak hanya kewajiban unsur legislatif, pemenuhan kebutuhan air bersih juga menjadi perhatian pihak legislatif. Apalagi ketika menggelar reses, aspirasi yang diserap pun selalu berusaha untuk dipenuhi. Hal itu tak lain untuk menyenangkan masyarakat.
Hanya saja, pelayanan air bersih dari PDAM belum menjangkau semua desa di pedalaman Kutai Timur (Kutim). Sehingga salah satu solusinya, yakni dengan melakukan pengadaan sumur bor. Bahkan tidak sedikit anggota dewan menganggarkan program tersebut melalui pokok pikiran (pokir).
“Tapi, sekarang tidak bisa. Ada rekomendasi dari Kejaksaan agar pengadaan sumur bor dikurangi dulu,” kata anggota Komisi D DPRD Kutim, Kamis (10/11/2022).
Dia mengaku telah mengajukan enam titik sumur bor. Sayangnya usulan tersebut ditolak lantaran tidak diperbolehkan. Padahal, kebutuhan sumur bor sangat besar, terutama di Kecamatan Bengalon.
“Apalagi dengan kondisi pipa induk PDAM di sana bocor. Membuat penyaluran air bersih terhambat. Masalah air memang sangat kompleks. Kami harus mengambil air sungai di Bengalon kemudian diberi tawas agar airnya bersih,” ungkapnya.
Menurutnya, keberadaan sumur bor sangat dibutuhkan masyarakat. Sebab, satu sumur bor dapat menghidupi 20 kepala keluarga (KK). Bahkan tidak hanya sumur bor, jika melakukan pengadaan selalu lengkap dengan perangkat penunjangnya. Seperti tandon dan lainnya yang menjadi pelengkap.
“Dulu kan sembrono bikin sumur bor. Sekarang ini, setiap lahan 2×2 meter untuk sumur bor harus ada keterangan hibah dari pemilik lahan,” sebutnya.
Jika tidak seperti itu, bisa saja dapat merugikan. Apalagi jika pemilik tanah tiba-tiba keberatan. Sehingga akan berdampak buruk. Makanya sebelum pengadaan sumur bor, harus ada bukti hibah dari pemilik tanah.
“Jangan sampai karena pemilik lahan tidak senang, mereka bisa menutup. Makanya harus bukti hibahnya sebagai acuan,” pungkasnya. (adv/rk)